Kamis, 10 Agustus 2017

Lima Monyet, Dongeng Kreasi Cak Syam Legenda, Tukang Mie Ayam di Klaten



Suatu kali Cak Syam Legenda (owner RM Legenda Klaten), seorang tukang mie ayam di Klaten mengutip cerita tentang polah tingkah lima monyet. Alkisah di pinggiran sebuah hutan seorang petani yang jengkel dengan ulah monyet yang sering menjarah kebun jagungnya, ingin melakukan pengamatan untuk mempelajari perilakunya. Dia memasang beberapa alat penjebak sederhana dari kaleng bekas, yang dilobangi sebesar tangan monyet, di dalamnya berisi beberapa butir kacang kulit gongso. Dari alat sederhana tersebut, berpuluh monyet berhasil dia tangkap.

Beberapa hari kemudian si petani melakukan pengamatan itu. Mula-mula dia masukkan dua ekor monyet ( A dan B) ke dalam sebuah kandang besar. Setelah sebelumnya dia gantung setundun pisang raja matang yang telah menguning kulitnya di langit-langit kandang. Seutas tali dari rotan dia biarkan menggelantung ke bawah sampai mendekati lantai kandang.

Mula-mula keduanya asing dengan dunia yang baru ini. Mereka hanya berjalan-jalan mengendap-endap di dalam kandang dengan penuh curiga. Ketika mendongak ke atas, mereka tidak tertarik dengan pisang itu. 
 
Tengah hari rupanya si A mulai disergap rasa lapar. Maka mulailah dia untuk meraih tali dan memanjat untuk mengambil pisang. Rupanya tanpa sepengetahuan kedua monyet tersebut, si petani sudah menyiapkan belasan batu kali dan beberapa butir buah durian. Begitu sang monyet sampai separoh pemanjatan, dilemparilah dia dengan batu dan buah durian tersebut. Sang monyet kembali turun, sebelum berhasil memetik pisang. Kini sang monyet duduk lemas di lantai.

Sejenak kemudian kembali rasa laparnya menyergap perut si monyet. Dia langsung menyambar tali untuk memanjat dan meraih pisang. Namun rupanya kerasnya batu sebesar jeruk menghantam bagian belakang kepalanya, hingga benjol. Jatuhlah dia untuk yang kedua kalinya. Begitu seterusnya kejadian yang sama terjadi sampai lima kali. Dengan menahan rasa pening akibat benjol di kepalanya, sang monyetpun menyerah. Kini dia pasrah dan membiarkan perutnya keroncongan. 

Apa yang terjadi pada monyet A rupanya juga melanda monyet B. Dia juga mulai merasakan kelaparan. Orkestra keroncong mulai mengalun merdu dari perutnya. Secepat kilat dia menyambar tali dan mulai memanjat. Begitu sang monyet sampai separoh pemanjatan, petani melemparkan batu-batu itu dan beberapa butir durian ke arahnya. Sang monyet tak kuasa menahan serbuan itu. Dia kembali turun, dengan punggung membiru, akibat lemparan batu.

Sambil bersandar di dinding si A terpingkal-pingkal menyaksikan temannya mengalami serbuan petani tersebut. Dia lupa dengan rasa pening di kepalanya. 

Demi ditertawakan temannya, alih-alih menyurutkan niatnya, si B malah bersemangat. Detik itu pula dia melupakan rasa nyeri di punggungnya. Dia langsung menyambar tali untuk memanjat dan segera mungkin bisa meraih pisang. Namun rupanya kerasnya batu dan tajamnya duri-duri durian hutan itu kembali menyerbu badannya. Jatuhlah dia untuk yang kedua kalinya. 

Si A terpingkal-pingkal kembali demi dilihatnya kegagalan demi kegagalan temannya itu. Apa saya bilang, katanya dalam hati. Bandel sih . . .

Dengan menahan rasa nyeri di punggung, akhirnya si B menyerah juga. Terpaksa dia membiarkan perutnya keroncongan.

Untuk beberapa saat dalam kandang itu tidak ada upaya pengambilan pisang raja tersebut. Suasana kandangpun kini menjadi sepi.

Melihat kondisi ini, sang petani memasuk monyet ketiga ke dalam kandang. Pada saat yang sama tanpa diketahui oleh ketiga monyet tersebut, si Petani pulang ke rumahnya untuk rehat sejenak, ngopi-ngopi plus santap pisang goreng panas.

Rupanya monyet ketiga, sebutlah dia monyet C, dia juga sedang lapar. Begitu dia menatap ke langit-langit kandang, nampaklah olehnya setundun pisang raja yang telah menguning. Kelezatan dan keharuman pisang raja tersebut seakan telah menyentuh ujung hidungnya. Secepat kilat diraihlah ujung tali yang menggelantung itu. Dengan segera dia memanjat untuk mengambil pisang itu. Namun di luar dugaannya, di detik itu pula monyet A dan B berebut untuk meraih ekornya dan menariknya ke bawah. Jatuhlah si monyet C dan terjerembab di lantai. 

Sakit ? Iya sakit, tapi rasa lapar menyuruhnya untuk kembali memanjat. Kedua monyet kembali secara reflek berebut menarik ekor si monyet C. Begitulah kejadiannya bahkan sampai berulang enam kali. Maka sambil menahan nafas yang terengah-engah karena lelah si C memprotes kedua temannya. “Kenapa kalian menarik ekorkuu . . . aku laparrr ... ? protesnya dengan berteriak lantang. Akhirnya secara panjang lebar si A dan si B menceritakan semua kejadian yang baru saja mereka alami. Sebagai bukti si A menunjukkan kepalanya yang benjol dan si B menunjukkan punggungnya yang lebam membiru.

Akhirnya si C menyerah kepada keadaan dan membiarkan rasa laparnya menyergap perutnya lebih dalam. Padahal selama dia berada di dalam kandang tak ada satupun serangan yang dilakukan si petani, karena si petani sedang ngopi di rumahnya. Soal serangan itu, yang dia tahu hanya cerita dari si A dan B saja. Dia berfikir meskipun dia tidak mengalami sendiri kejadian itu, dia serasa ikut merasakan bagaimana peningnya kepala si A dengan benjolan sebesar buah jeruk itu. Juga betapa nyerinya punggung si B dengan lebam membiru itu. Kini dia benar-benar kapok dan memutuskan untuk tidak memanjat lagi. 

Sepiring pisang goreng dan secangkir kopi hitam telah menyegarkan tubuh pak tani. Kembali dia ingin mempelajari perilaku monyet-monyet itu. Tapi suasana kandang sudah tak memberinya pelajaran lagi, tak ada panjat memanjat tali lagi. Ketiga monyet berbaring lesu di lantai. Wah pelajaran kedua sudah selesai, pikir si petani. Detik selanjutnya monyet A dan B dikeluarkan dari kandang. Sebagai gantinya dimasukkanlah monyet D dan E. Kini kandang diisi bertiga; monyet C, monyet D dan monyet E. Rupanya kedua monyet baru ini juga sedang lapar.

Mula-mula monyet D yang punya inisiatif untuk memetik pisang duluan. Namun di cegah oleh si C. Si D menolak nasihatnya. Si C terus nyerocos menceritakan semua pengalaman yang pernah di alami oleh temannya yaitu si A dan si B, lengkap dengan benjol di kepala dan lebam di punggung kedua temannya itu. Bahkan saking semangatnya dia bilang kepala temannya itu benjol sebesar melon bukan sebesar jeruk dan lebam punggung temannya bukan hanya membiru tapi juga memerah dan menguning. Dan kali ini dia berhasil. Si D nyalinya bertambah ciut.

Demi mendengar berita yang mengerikan ini, rasa lapar si D langsung down grade. Kakinya gemetar, nyalinya menciut dan mengecil serta membuatnya memilih untuk duduk manis di pojok kandang. Dia menyerah sebelum bertanding walau dengan tetap membayangkan kelezatan dan keharuman pisang raja di langit-langit kandang itu. Saking kepinginnnya, sampai-sampai air liurnya kembali membasahi kerongkongannya. Namun fisiknya memilih untuk meringkuk di pojok kandang, karena ngeri dengan ancaman benjol di kepala sebesar melon dan lebam yang membiru, memerah dan menguning di punggung temannya itu.

Bagaimana dengan si E ? Rupanya si E ini type monyet yang bandel. Dia suka nekat kadang tanpa perhitungan. Maka begitu dia dinasehati si C bahwa nanti bakal begini dan begitu dia tidak ambil pusing. Dia tidak peduli dengan benjol sebesar melon atau lebam yang membiru, memerah dan menguning itu.

Segala cerita si C tersebut justru malah membuatnya penasaran. Dia malah terdorong untuk mencobanya. Dia yakin pasti bisa menghindar dari serangan petani. Maka secepat kilat dia raih ujung tali yang menjulur itu dan langsung naik ke langit-langit untuk mengambil pisang raja yang ranum itu. Dengan semangat dia makan pisang itu dan ternyata rasanya memang mak nyuss . . . Di mana petani yang katanya akan melempari dengan batu-batu kali itu, kata sang monyet dalam hati. Rupanya dia tidak lagi melempari monyet yang memanjat tali. Dia memang hanya akan melempar batu pada monyet pertama dan ke dua saja, sedang monyet lainnya dibiarkan. Atau di lain waktu dia membiarkan monyet pertama dan kedua, tapi melempari monyet ke lima dan ke sembilan dan seterusnya, tergantung nasib sang monyet. 

Namun rupanya permainan sang petani ini tidak di fahami oleh sang monyet. Mereka mengira bahkwa semua monyet yang akan mengambil pisang pasti di lempar batu kali. 

Berguru Pada Monyet.

Pikiran dan pengalaman monyet di atas sebenarnya adalah pikiran dan pengalaman kita semua. Ia benar-benar terjadi dalam realitas kehidupan kita. Pisang dalam dongeng di atas adalah impian manusia. Kandang adalah dunia kita. Untuk mendapatkan pisang, kadang dibutuhkan kenekatan dan sedikit jiwa bandel untuk bisa mendapatkannya.

Yang takut melangkah karena adanya kisah-kisah kegagalan orang lain pada akhirnya akan mengalami kegagalan. Cobaan, gangguan dan hambatan dari sang petani sebenarnya tidak melulu berupa batu, namun di sela-sela batu ada terselip buah durian. Tapi karena terlalu fokus dengan pisang yang menggelantung di langit-langit kandang, sang durian tak tampak di matanya. Dia tertutupi oleh batu, kecuali sekedar tajamnya duri yang melukai kulit. Buah duriannya menghilang. Dan itulah realitas kehidupan kita.

Kegagagalan orang lain dan berbagai pengalaman buruk yang kita dengar kadang justru menjadi batu sandungan terbesar dalam pencapaian impian kita. Berbagai pengalaman buruk orang lain bisa membuat kita takut mengambil langkah dan lebih memilih untuk menjadi pecundang saja. Ini akibat dari mindset kita yang telah teracuni oleh paradigma gagal yang yang disuntikkan dari kegagalan orang lain.

Berbeda dengan mindset orang sukses di mana mereka tidak takut akan kegagalan. Kegagalan malah dianggap sebagai fase yang harus dilampaui. Di fase berikutnya kesuksesan baru nongol. Jadi rintangan adalah proses pematangan yang mesti dijalani bahkan di saat para pecundang itu sudah menyerah kalah.

Terima kasih monyet . . . he he he . . .

Dongeng di atas diadaptasi dari buku (dengan perubahan redaksi seperlunya) :
Judul : Belajar Dari Lima Monyet
Penulis : Edi Mulyono
Penerbit : DIVA Press
Cetakan : Pertama, Agustus 2010
Tebal : 50 Halaman

Tulisan ini dihadirkan untuk memberikan spirit kepada rekan-rekan yang takut melangkah dalam berwirausaha.


 



 RM Legenda Klaten, Jalan Mayor Kusmanto Proliman Bramen Sekarsuli, seberang Star Steak Gergunung




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.