Suatu kali Cak Syam Legenda
(owner RM Legenda Klaten), seorang tukang mie ayam di Klaten mengutip cerita
tentang polah tingkah lima monyet. Alkisah di pinggiran sebuah hutan seorang petani
yang jengkel dengan ulah monyet yang sering menjarah kebun jagungnya, ingin melakukan
pengamatan untuk mempelajari perilakunya. Dia memasang beberapa alat penjebak
sederhana dari kaleng bekas, yang dilobangi sebesar tangan monyet, di dalamnya berisi
beberapa butir kacang kulit gongso. Dari alat sederhana tersebut, berpuluh
monyet berhasil dia tangkap.
Beberapa hari kemudian si
petani melakukan pengamatan itu. Mula-mula dia masukkan dua ekor monyet ( A dan
B) ke dalam sebuah kandang besar. Setelah sebelumnya dia gantung setundun
pisang raja matang yang telah menguning kulitnya di langit-langit kandang.
Seutas tali dari rotan dia biarkan menggelantung ke bawah sampai mendekati
lantai kandang.
Mula-mula keduanya asing dengan
dunia yang baru ini. Mereka hanya berjalan-jalan mengendap-endap di dalam
kandang dengan penuh curiga. Ketika mendongak ke atas, mereka tidak tertarik
dengan pisang itu.
Tengah hari rupanya si A mulai disergap
rasa lapar. Maka mulailah dia untuk meraih tali dan memanjat untuk mengambil
pisang. Rupanya tanpa sepengetahuan kedua monyet tersebut, si petani sudah
menyiapkan belasan batu kali dan beberapa butir buah durian. Begitu sang monyet
sampai separoh pemanjatan, dilemparilah dia dengan batu dan buah durian
tersebut. Sang monyet kembali turun, sebelum berhasil memetik pisang. Kini sang
monyet duduk lemas di lantai.
Sejenak kemudian kembali rasa
laparnya menyergap perut si monyet. Dia langsung menyambar tali untuk memanjat
dan meraih pisang. Namun rupanya kerasnya batu sebesar jeruk menghantam bagian
belakang kepalanya, hingga benjol. Jatuhlah dia untuk yang kedua kalinya.
Begitu seterusnya kejadian yang sama terjadi sampai lima kali. Dengan menahan
rasa pening akibat benjol di kepalanya, sang monyetpun menyerah. Kini dia
pasrah dan membiarkan perutnya keroncongan.
Apa yang terjadi pada monyet A
rupanya juga melanda monyet B. Dia juga mulai merasakan kelaparan. Orkestra
keroncong mulai mengalun merdu dari perutnya. Secepat kilat dia menyambar tali
dan mulai memanjat. Begitu sang monyet sampai separoh pemanjatan, petani melemparkan
batu-batu itu dan beberapa butir durian ke arahnya. Sang monyet tak kuasa
menahan serbuan itu. Dia kembali turun, dengan punggung membiru, akibat
lemparan batu.
Sambil bersandar di dinding si
A terpingkal-pingkal menyaksikan temannya mengalami serbuan petani tersebut.
Dia lupa dengan rasa pening di kepalanya.
Demi ditertawakan temannya,
alih-alih menyurutkan niatnya, si B malah bersemangat. Detik itu pula dia
melupakan rasa nyeri di punggungnya. Dia langsung menyambar tali untuk memanjat
dan segera mungkin bisa meraih pisang. Namun rupanya kerasnya batu dan tajamnya
duri-duri durian hutan itu kembali menyerbu badannya. Jatuhlah dia untuk yang
kedua kalinya.
Si A terpingkal-pingkal kembali
demi dilihatnya kegagalan demi kegagalan temannya itu. Apa saya bilang, katanya
dalam hati. Bandel sih . . .
Dengan menahan rasa nyeri di punggung,
akhirnya si B menyerah juga. Terpaksa dia membiarkan perutnya keroncongan.
Untuk beberapa saat dalam
kandang itu tidak ada upaya pengambilan pisang raja tersebut. Suasana
kandangpun kini menjadi sepi.
Melihat kondisi ini, sang petani
memasuk monyet ketiga ke dalam kandang. Pada saat yang sama tanpa diketahui
oleh ketiga monyet tersebut, si Petani pulang ke rumahnya untuk rehat sejenak,
ngopi-ngopi plus santap pisang goreng panas.
Rupanya monyet ketiga, sebutlah
dia monyet C, dia juga sedang lapar. Begitu dia menatap ke langit-langit
kandang, nampaklah olehnya setundun pisang raja yang telah menguning. Kelezatan
dan keharuman pisang raja tersebut seakan telah menyentuh ujung hidungnya. Secepat
kilat diraihlah ujung tali yang menggelantung itu. Dengan segera dia memanjat untuk
mengambil pisang itu. Namun di luar dugaannya, di detik itu pula monyet A dan B
berebut untuk meraih ekornya dan menariknya ke bawah. Jatuhlah si monyet C dan
terjerembab di lantai.
Sakit ? Iya sakit, tapi rasa
lapar menyuruhnya untuk kembali memanjat. Kedua monyet kembali secara reflek
berebut menarik ekor si monyet C. Begitulah kejadiannya bahkan sampai berulang
enam kali. Maka sambil menahan nafas yang terengah-engah karena lelah si C
memprotes kedua temannya. “Kenapa kalian menarik ekorkuu . . . aku laparrr ...
? protesnya dengan berteriak lantang. Akhirnya secara panjang lebar si A dan si
B menceritakan semua kejadian yang baru saja mereka alami. Sebagai bukti si A menunjukkan
kepalanya yang benjol dan si B menunjukkan punggungnya yang lebam membiru.
Akhirnya si C menyerah kepada
keadaan dan membiarkan rasa laparnya menyergap perutnya lebih dalam. Padahal
selama dia berada di dalam kandang tak ada satupun serangan yang dilakukan si petani,
karena si petani sedang ngopi di rumahnya. Soal serangan itu, yang dia tahu
hanya cerita dari si A dan B saja. Dia berfikir meskipun dia tidak mengalami
sendiri kejadian itu, dia serasa ikut merasakan bagaimana peningnya kepala si A
dengan benjolan sebesar buah jeruk itu. Juga betapa nyerinya punggung si B
dengan lebam membiru itu. Kini dia benar-benar kapok dan memutuskan untuk tidak
memanjat lagi.
Sepiring pisang goreng dan
secangkir kopi hitam telah menyegarkan tubuh pak tani. Kembali dia ingin
mempelajari perilaku monyet-monyet itu. Tapi suasana kandang sudah tak memberinya
pelajaran lagi, tak ada panjat memanjat tali lagi. Ketiga monyet berbaring lesu
di lantai. Wah pelajaran kedua sudah selesai, pikir si petani. Detik
selanjutnya monyet A dan B dikeluarkan dari kandang. Sebagai gantinya dimasukkanlah
monyet D dan E. Kini kandang diisi bertiga; monyet C, monyet D dan monyet E. Rupanya
kedua monyet baru ini juga sedang lapar.
Mula-mula monyet D yang punya
inisiatif untuk memetik pisang duluan. Namun di cegah oleh si C. Si D menolak
nasihatnya. Si C terus nyerocos menceritakan semua pengalaman yang pernah di alami
oleh temannya yaitu si A dan si B, lengkap dengan benjol di kepala dan lebam di
punggung kedua temannya itu. Bahkan saking semangatnya dia bilang kepala
temannya itu benjol sebesar melon bukan sebesar jeruk dan lebam punggung
temannya bukan hanya membiru tapi juga memerah dan menguning. Dan kali ini dia
berhasil. Si D nyalinya bertambah ciut.
Demi mendengar berita yang
mengerikan ini, rasa lapar si D langsung down grade. Kakinya gemetar, nyalinya
menciut dan mengecil serta membuatnya memilih untuk duduk manis di pojok
kandang. Dia menyerah sebelum bertanding walau dengan tetap membayangkan
kelezatan dan keharuman pisang raja di langit-langit kandang itu. Saking kepinginnnya,
sampai-sampai air liurnya kembali membasahi kerongkongannya. Namun fisiknya
memilih untuk meringkuk di pojok kandang, karena ngeri dengan ancaman benjol di
kepala sebesar melon dan lebam yang membiru, memerah dan menguning di punggung
temannya itu.
Bagaimana dengan si E ? Rupanya
si E ini type monyet yang bandel. Dia suka nekat kadang tanpa perhitungan. Maka
begitu dia dinasehati si C bahwa nanti bakal begini dan begitu dia tidak ambil
pusing. Dia tidak peduli dengan benjol sebesar melon atau lebam yang membiru,
memerah dan menguning itu.
Segala cerita si C tersebut
justru malah membuatnya penasaran. Dia malah terdorong untuk mencobanya. Dia
yakin pasti bisa menghindar dari serangan petani. Maka secepat kilat dia raih
ujung tali yang menjulur itu dan langsung naik ke langit-langit untuk mengambil
pisang raja yang ranum itu. Dengan semangat dia makan pisang itu dan ternyata
rasanya memang mak nyuss . . . Di mana petani yang katanya akan melempari
dengan batu-batu kali itu, kata sang monyet dalam hati. Rupanya dia tidak lagi
melempari monyet yang memanjat tali. Dia memang hanya akan melempar batu pada
monyet pertama dan ke dua saja, sedang monyet lainnya dibiarkan. Atau di lain
waktu dia membiarkan monyet pertama dan kedua, tapi melempari monyet ke lima
dan ke sembilan dan seterusnya, tergantung nasib sang monyet.
Namun rupanya permainan sang petani
ini tidak di fahami oleh sang monyet. Mereka mengira bahkwa semua monyet yang
akan mengambil pisang pasti di lempar batu kali.
Berguru Pada Monyet.
Pikiran dan pengalaman monyet
di atas sebenarnya adalah pikiran dan pengalaman kita semua. Ia benar-benar terjadi
dalam realitas kehidupan kita. Pisang dalam dongeng di atas adalah impian
manusia. Kandang adalah dunia kita. Untuk mendapatkan pisang, kadang dibutuhkan
kenekatan dan sedikit jiwa bandel untuk bisa mendapatkannya.
Yang takut melangkah karena
adanya kisah-kisah kegagalan orang lain pada akhirnya akan mengalami kegagalan.
Cobaan, gangguan dan hambatan dari sang petani sebenarnya tidak melulu berupa
batu, namun di sela-sela batu ada terselip buah durian. Tapi karena terlalu
fokus dengan pisang yang menggelantung di langit-langit kandang, sang durian
tak tampak di matanya. Dia tertutupi oleh batu, kecuali sekedar tajamnya duri
yang melukai kulit. Buah duriannya menghilang. Dan itulah realitas kehidupan
kita.
Kegagagalan orang lain dan
berbagai pengalaman buruk yang kita dengar kadang justru menjadi batu sandungan
terbesar dalam pencapaian impian kita. Berbagai pengalaman buruk orang lain bisa
membuat kita takut mengambil langkah dan lebih memilih untuk menjadi pecundang
saja. Ini akibat dari mindset kita yang telah teracuni oleh paradigma gagal
yang yang disuntikkan dari kegagalan orang lain.
Berbeda dengan mindset orang
sukses di mana mereka tidak takut akan kegagalan. Kegagalan malah dianggap
sebagai fase yang harus dilampaui. Di fase berikutnya kesuksesan baru nongol. Jadi
rintangan adalah proses pematangan yang mesti dijalani bahkan di saat para
pecundang itu sudah menyerah kalah.
Terima kasih monyet . . . he he
he . . .
Dongeng di atas diadaptasi dari
buku (dengan perubahan redaksi seperlunya) :
Judul : Belajar Dari Lima Monyet
Penulis : Edi Mulyono
Penerbit : DIVA Press
Cetakan : Pertama, Agustus 2010
Tebal : 50 Halaman
Tulisan
ini dihadirkan untuk memberikan spirit kepada rekan-rekan yang takut melangkah dalam
berwirausaha.
RM Legenda Klaten, Jalan Mayor Kusmanto Proliman Bramen Sekarsuli, seberang Star Steak Gergunung